BAB I
PENDAHULUHAN
Latar belakang
Masalah kestabilan lereng pada tanah merupakan suatu hal yang menarik, karena faktor secara sederhana dalam kestabilan lereng sebagai gaya- gaya penahan dan gaya- gaya dorong akan mempertanggun jawabkan terhadap keamanan lereng. Faktor keamanan lereng untuk menyatakan tingkat kestabilan suatu lereng yang akan mengetahui kemantapan lereng dan perlu tidaknya perhatian pada suatu lereng akan kemunkinan terjadi kelongsoran.
Faktor perhatian kestabilan lereng yakni gaya penahan dan gaya dorong, gaya penahan merupakan gaya- gaya yang mempertahankan kemantapan lereng, sedangkan gaya dorong merupakan gaya- gaya yang mengakibatkan lereng longsor. Kestabilan lereng yang bekerja dengan kestimbangan gaya gesekan dalam yang berbandingan dengan bobot di kemiringan alami atau sudut gesear dalam akan perlawanan internal kohesi dibidang geser.
Metode Fellenius (irisan biasa) merupakan metode ini juga dinamakan sebagai metode lingkaran Swedia dikenal cara perhitungan faktor keamanan yang paling sederhana dengan asumsi yang digunakan dalam metode ini adalah resultan gaya antara irisan sama dengan nol dan bekerja sejajar dengan permukaan bidan runtuh, serta bidang runtuh berupa sebuah busur lingkaran. Kondisi kestimbangan yang dapat dipenuhi oleh metode ini hanya kesetimbangan momen untuk semua irisan pada pusat lingkaran runtuh.
Pada pelaksanaannya, lokasi kegiatan kerja praktek dalam Kondisi existing merupakan kondisi dimana lokasi tersebut telah ditambang sebelumnya, sedangkan kondisi virgin dimana zona stratigrafi masih merupakan material asli dan belum dilakukan penggalian atau perubahan zona topografi. Lokasi front penambangan di bukit Tapuemea pada PT. Antam Tbk. UBPN. SULTRA Tapunopaka, Kabupaten Konawe Utara, Propinsi Sulawesi Tenggara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik material lokasi kerja praktek?
2. Bagaimana kondisi geometri lereng lokasi kerja praktek?
3. Bagaiman tingkat kestabilan lereng lokasi kerja praktek?
1.3 Batasan Masalah Kerja praktek
Batasan kerja praktek di Tapunopaka PT. Antam Tbk. SULTRA meliputi faktor keamanan dan distribusi gaya gesekan dalam
1.4. Tujuan Kerja Praktek
Kerja Praktek yang dilaksanakan di PT Antam Tbk yang merupakan bagian dari kurikulum Program Studi Teknik Pertambangan, Universitas Sembilanbelas November kolaka, Kerja Praktek dengan judul “Sutudi Teknis Kestabilan Lereng Dengan Metode Fellenius Pada PT Antam Tbk. UBPN.” adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui karakteristik material lokasi kerja praktek.
2. Mengetahui kondisi geometri lereng lokasi kerja praktek.
3. Mengetahui kondisi kestabilan lereng lokasi kerja praktek.
1.5. Manfaat Kerja Praktek
Dapat memperhatikan kestabilan lereng tambang dari keamanan lereng yang dilihat hitungan faktor keamanan
1.6. Sistimatika Penulis Kerja Praktek
Laporan kerja praktek ini akan membahas kestabilan lereng yang akan kemampuan penyusung matrial dengan beberapa bab, Bab tersebut adalah:
BAB I Pendahuluan, berisi perilku karakteristik fisik dan mekanaik (permasalaan umum) terkait kestabilan lereng, cara perhitungan factor keamanan dengan metode fellenius, dan lokasi kerja praktek pada PT. Antam Tbk. UBPN.
BAB II Tinjauan umum, berisi sejarah singkat PT. Antam Tbk. UBPN SULTRA, visi dan misi PT. Antam Tbk. UBPN SULTRA, lokasi dan kesampaian daerah, dan keadaan geografi daerah pada karakteristik lokasi dan wilaya rawan bencana longsor.
BAB III Landasan Teori, berisi Definisi tanah dan lereng, identifikasi mekanisme keruntuhan, perkiraan keruntuhan, factor yang mempengaruhi kemantapan leren, berbagai cara analisisi kestabilan lereng, dan perhitungan factor keamanan lereng (metode fellenius).
BAB IV Metodologi dan hasil kerja praktek, berisi metode kerja praktek dengan tahapan pelaksanaan yakni; pengenalan lingkungan kerja, studi pendahuluan, studi literature, pengumpulan data, dan penyelesaian akhir.
BAB V Pembahasan, berisi hasil data kerja praktek (dimensi geometric serta sifat fisik dan mekanik), dan pembahasan.
BAB VI Penutup, berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM
Sejarah singkat PT. Antam Tbk. UBPN sultra
Kegiatan usaha Perseroan telah dimulai sejak tahun 1968 ketika Perseroan didirikan sebagai Badan Usaha Milik Negara melalui merjer dari beberapa Perusahaan tambang dan proyek tambang milik pemerintah, yaitu Badan Pimpinan Umum Perusahaan-perusahaan Tambang Umum Negara, Perusahaan Negara Tambang Bauksit Indonesia, Perusahaan Negara Tambang Emas Tjikotok, Perusahaan Negara Logam Mulia, PT Nickel Indonesia, Proyek Intan dan Proyek-proyek Bapetamb. Perseroan didirikan dengan nama "Perusahaan Negara (PN) Aneka Tambang" di Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli 1968 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1968. Pendirian tersebut diumumkan dalam Tambahan No. 36, BNRI No. 56, tanggal 5 Juli 1968. Pada tanggal 14 September 1974, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1974, status Perusahaan diubah dari Perusahaan Negara menjadi Perusahaan Negara Perseroan Terbatas ("Perusahaan Perseroan") dan sejak itu dikenal sebagai "Perusahaan Perseroan (Persero) Aneka Tambang".
Pada tanggal 30 Desember 1974, ANTAM berubah nama menjadi Perseroan Terbatas dengan Akta Pendirian Perseroan No. 320 tanggal 30 Desember 1974 dibuat di hadapan Warda Sungkar Alurmei, S.H., pada waktu itu sebagai pengganti dari Abdul Latief, dahulu notaris di Jakarta jo. Akta Perubahan No. 55 tanggal 14 Maret 1975 dibuat di hadapan Abdul Latief, dahulu notaris di Jakarta mengenai perubahan status Perseroan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 9 tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1969 (Lembaran Negara tahun 1969 No. 16.
Bijih nikel di Sulawesi Tenggara yang mulai dieksploitasi sejak tahun 1964 oleh PT. Nikel (Pertambangan Nikel Indonesia). Sebelumnya, pada tahun 1909 bijih nikel di Pomalaa dieksploitasi dan ditambang oleh E.C. Abendanon Kemudian beralih ke eksploitasi berikutnya oleh Oost Borneo Maatschappij (OBM) dan Bone Tolo Maatschappij. Proses penambangan dilakukan oleh OBM dan hasilnya diekspor ke Jepang sebanyak 150.000 ton bijih nikel dan hal ini berlangsung sampai tahun 1942.
Untuk mendukung pendanaan proyek ekspansi feronikel, pada tahun 1997 Perseroan menawarkan 35% sahamnya ke publik dan mencatatkannya di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 1999, Perseroan mencatatkan sahamnya di Australia dengan status foreign exempt entity dan pada tahun 2002 status ini ditingkatkan menjadi ASX Listing yang memiliki ketentuan lebih ketat.
Pada masa Perang Dunia II yakni tahun 1942-1945 Indonesia diduduki oleh Jepang. Tambang Nikel Pomalaa selanjutnya dikelola oleh Sumitomo Metal Mining Corp. (SMM) yang berhasil membangun sebuah pabrik pengolahan yang menghasilkan nikel matte. Selama masa tersebut, pabrik tersebut menghasilkan 351 ton matte, dimana tiga puluh ton diantaranya berhasil dikapalkan dan sisanya ditinggalkan di Pomalaa. Hal ini terjadi karena pabrik pengolahan nikel di Pomalaa terlanjur hancur oleh serangan sekutu hingga instalasi yang ada pada saat itu hancur berantakan.
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, banyak pihak asing yang ingin melakukan eksplorasi di Pertambangan Nikel Pomalaa tersebut, seperti Freeport Sulfur Co. Oost Borneo Maatschappij serta MMC yang bergerak di Malili. Namun akibat keadaan keamanan yang kurang memungkinkan saat itu sehingga usaha tersebut mengalami kegagalan. Baru pada tahun 1957, usaha penambangan bijih nikel dapat diulangi lagi, kali ini oleh perusahaan NV Perto. Mula-mula yang dikerjakan yaitu hanyalah mengekspor stok bijih nikel yang tertinggal dari zaman perang Jepang. Pada tahun 1959-1960, perusahaan ini baru melakukan penggalian di pulau Maniang.
Setelah pembuatan FeNi 1 pada tahun 1976 maka dibuatlah FeNi 2 dan FeNi 3 pada tahun 1992 dan 2003 demi menambah kapasitas produksi. Pada tahun 2014 dibuatlah FeNi 4 sebagai modernisasi dari FeNi 1 untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi 27.000 ton Ni.
Berdasarkan penjelasan diatas PT. ANTAM dijadikan sebagai wadah bagi kami mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman kerja dan menambah wawasan tentang kondisi pertambangan secara nyata, serta sebagai suatu bentuk kerja sama yang efektif antar mahasiswa Teknik Pertambangan Universitas Sembilas November dengan PT. ANTAM.
Visi dan misi PT.Antam Tbk. UBPN sultra visi Antam 2030:
"Menjadi Korporasi Global Terkemuka Melalui Diversifikasi Dan Integrasi Usaha Berbasis Sumber Daya Alam"
Misi ANTAM 2030:
Menghasilkan produk-produk berkualitas dengan memaksimalkan nilai tambah melalui praktek-praktek industri terbaik dan operasional yang unggul.
Mengoptimalkan sumber daya dengan mengutamakan keberlanjutan, keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan.
Memaksimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dan pemangku kepentingan.
Meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan karyawan serta kemandirian masyarakat di sekitar wilayah operasi.
Lokasi dan kesampain daerah kerja praktek
Lokasi kegiatan penambangan bahan galian bijih nikel yang dilakukan oleh PT. ANTAM Tbk. UBPN Sultra secara administrasi terletak di daerah Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara, sedangkan secara geografis terletak pada garis lintang 3o 27’ 47,37’’ LS dan berada pada 122o 17’ 0,56’’ BT. Lokasi ini dapat dilihat pada gambar 2.1 dan ditempuh sebagai berikut:
Jarak dari Kabupaten Kolaka ke Wolawe sejauh ± Km 195 dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda 2 atau roda 4 selama kurang lebih 5 jam.
Transportasi ke Kec. Wolawe ke Tapunopakah lokasi tempat kerja praktek dapat ditempuh dengan menggunakan perahu selama kurang lebih 1.5 jam.
Gambar 2.1 Lokasi Kecamatan Tapunopaka Sulawesi Tenggara
2.4 Keadaan Geografi Daerah
Aspek geografi yang perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran keadaan daerah mengenai krakteristik lokasi dan wilayah bencana longsor
2.4.1 Krakteristik Lokasi Kerja Praktek
2.4.1.1 Topografi
Wilayah Konawe Utara berada pada ketinggian 0 - >2000 mdpl dengan kemiringan lereng antara 0 - >40%. Kemiringan antara 25% sampai dengan >40% berada pada hulu Sungai Lasolo yang merupakan wilayah Pegunungan Matarombeo. Wilayah dengan kemiringan lereng 0-8% umumnya berada pada kaki bukit, lembah antar sungai, dan wilayah di muara-muara sungai. Wilayah dengan ketinggian >2000 meter dan kemiringan lebih dari 40% berada pada sekitar hulu Sungai Konaweha, yaitu Pegunungan Mekongga mengarah ke utara sampai Pegunungan Matarombeo umumnya berbukit hingga bergunung.
Gambar 2.2 Peta Topografi Kecamatan Tapunopaka Sulawesi Tenggara
2.4.1.2 Geologi
Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi Lembar Lasusua- Kendari dapat dibedakan dalam dua lajur, yaitu Lajur Tinodo dan Lajur Hialu. Lajur Tinodo dicirikan oleh batuan endapan paparan benua dan Lajur Hialu oleh endapan kerak samudra/ofiolit, secara garis besar kedua mendala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo (Rusmana, dkk., 1985).
Struktur geologi yang dijumpai di wilayah Kabupaten Konawe Utara adalah sesar, lipatan, dan kekar. Sesar dan kelurusan umumnya berarah barat laut-tenggara searah dengan sesar geser lurus mengiri Lasolo. Sesar Lasolo bahkan masih aktif hingga saat ini. Sesar tersebut diduga ada kaitannya dengan Sesar Sorong yang aktif kembali pada Kala Oligosen (Simandjuntak, dkk., 1983). Sesar naik ditemukan di daerah Wawo sebelah barat Tampakura dan di Tanjung Labuandala di selatan Lasolo, yaitu beranjaknya Batuan Ofiolit ke atas Batuan Malihan Mekonga, Formasi Meluhu, dan Formasi Matano.
2.4.1.3 Hidrologi
Sungai adalah sistem pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi pada kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Daerah Pengaliran Sungai adalah suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air meresap dan/atau mengalir melalui sungai dan anak-anak sungai yang bersangkutan.
Daerah Aliran Sungai yang melalui Kabupaten Konawe Utara adalah wilayah Sungai Lasolo Sampara dengan sub wilayah sungai terdiri dari SWS Sungai Lasolo, SWA Lalindu, SWS Tinobu, SWS Sampara, dan SWS S. Lambuti. SWS Lasolo-Sampara mempunyai 63 DPS dengan jumlah total luas DPS 14.979,6 km2 dan total panjang sungainya 847,2 km.
Adanya Daerah Aliran Sungai (DAS) perlu dicermati sebagai potensi bagi sumber daya air untuk keperluan irigasi pertanian, energi listrik, sarana. Hal lain yang harus dicermati terkait dengan keberadaan daerah aliran sungai yakni kerentanan terhadap bencana banjir seperti halnya yang terjadi pada titik muara sungai pertemuan Sungai Lasolo dan Sungai Landawe di perbatasan kecamatan Molawe-Asera adalah yang telah menjadi daerah banjir tahunan.
2.4.2 Wilayah Rawan Bencana Longsor
Kabupaten Konawe Utara memiliki wilayah rawan bencana tanah longsor,. Adapun rincian wilayah rawan bencana tanah longsormeliputi:
a. Kecamatan Molawe;
b. Kecamatan Sawa;
c. Kecamatan Lembo;
d. Kecamatan Wawolesea;
e. Kecamatan Lasolo;
f. Kecamatan Motui;
g. Kecamatan Andowia;
h. Kecamatan Asera;
i. Kecamatan Oheo;
j. Kecamatan Langgikima;
k. Kecamatan Landawe;
l. Kecamatan Wiwirano.
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1 Definisi Tanah
Dalam pengertian teknik secara umum tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan organic yang telah melapuk (yang berpatikel padat) disertahi dengan zat cair dan udara yang mengisi pori diantara partikel-partikel padat tersebut.
Tanah laterit adalah tanah yang terbentuk di daerah tropis atau subtropis dengan tingkat pelapukan tinggi pada batuan basa sampai batuan ultrabasa yang didominasi oleh kandungan logam besi. Tanah ini mengandung mineral-mineral lempung yang relative tinggi utamanya illite dan montmorilonite, sehingga potensi kerusakannya relative besar jika dilakukan pekerjaan konstruksi pada tanah seperti ini. Dengan kandungan mineral lempung dan unsur logam, tanah ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan baik pada pekerjaan konstruksi, industri, maupun lainnya, namun perlu kajian mendalam terhadap karakteristik detail dan kemungkinan perbaikannya sebelum digunakan. Tanah laterite merupakan kelompok tanah dari hasil pelapukan yang tinggi, terbentuk dari hasil konsentrasi hidrasi oksida besi dan aluminium. (Thagesen, 1996 dari Olugbenga O Amu, 2011).
Nama laterit diberikan oleh Buchanan tahun 1807 di India, dari Bahasa Latin “later” yang berarti bata.Tanah jenis ini memiliki karakteristik keras, sulit ditembus, dan sangat sulit berubah jika dalam kondisi kering (Makasa, 2004 dalam Amu, O.O., et. al.,2011). Tanah laterit memiliki variasi yang luas dari warna merah, coklat sampai kuning, tanah residual berukuran butir halus dengan tekstur ringan memiliki bentuk butiran nodular dan tersementasi dengan baik (Lambe danWhitman, 1979). Fookes (1997) menamai laterit didasarkan pada pengerasan seperti ”freeic” untuk tanah keras kaya besi yang tersementasi, “alcrete” atau bauksit untuk tanah keras kaya aluminium yang tersementasi, “calcrete” untuk tanah keras kaya calcium karbonat, dan“silcrete” untuk yang kaya silica. Definisi lainnya didasarkan pada perbandingan jumlah silica (SiO2) terhadap oksida (Fe2O3+Al2O3), untuk tanah laterit perbandingan tersebut antara 1,33 dan 2,0, sedangkan diatas 2,0 bukan tanah laterit. Komposisi unsur dan senyawa yang terkandung dalam tanah laterit yang umum di Indonesia meliputi oksigen, magnesium, aluminium, silicon, sulfur, calcium, vanadium, manganese, besi, dan nikel. Sedangkan kandungan mineral yang ada dalam tanah laterit tersebut terdiri dari hematite, kaolinte, illite, montmorillonite, rutile, forsterite, andalusite, magnetite, magnesium silicate, dan nikel dioksida.
Ciri-ciri fisik tanah laterit di alam secara umum, tanah laterit atau sering disebut dengan tanah merah merupakan tanah berwarna merah hingga coklat yang terbentuk pada lingkungan lembab, dingin, dan mungkin genangan-genangan air. Tanah ini memiliki profil yang dalam, mudah menyerap air, memiliki kandungan bahan organic sedang dan pH netral hingga asam dengan banyak kandungan logam terutama besi dan aluminium, serta baik digunakan sebagai bahan pondasi karena menyerap air dan teksturnya relative padat dan kokoh. Sifat-sifat fisik tanah laterit sangat bervariasi tergantung pada komposisi mineralogy dan distribusi ukuran partikel tanah, granulometri dapat bervariasi dari halus sampai gravel tergantung asal dan proses pembentukannya sehingga akan mempengaruhi sifat-sfat geoteknik seperti plastisitas dan kuat tekan. Salah satu kelebihan tanah laterit adalah tidak mudah mengembang dengan air, tergantung pada kandungan mineral lempung di dalamnya.
3.2 Definisi Lereng
Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu dengan bidang horizontal. Lereng dapat terbentuk secara alamiah karena proses geologi atau karena dibuat oleh manusia. Lereng yang terbentuk secara alamiah misalnya lereng bukit dan tebing sungai, sedangkan lereng buatan manusia antara lain yaitu galian dan timbunan untuk membuat jalan raya dan jalan kereta api, bendungan, tanggul sungai dan kanal serta tambang terbuka.
Lereng merupakan suatu permukaan tanah atau batuan yang miring dan memiliki suatu sudut tertentu terhadap bidang horisontal. Secara prinsip, pada suatu lereng sebenarnya berlaku dua macam gaya, yaitu gaya penahan dan gaya penggerak. Gaya penahan, yaitu gaya yang menahan massa dari pergerakan sedangkan gaya penggerak adalah gaya yang menyebabkan massa bergerak. Lereng akan longsor jika gaya penggeraknya lebih besar dari gaya penahan.
Suatu longsoran adalah keruntuhan dari massa tanah yang terletak pada sebuah lereng sehingga terjadi pergerakan massa tanah ke bawah dan ke luar. Longsoran dapat terjadi dengan berbagai cara, secara perlahan-lahan atau mendadak serta dengan ataupun tanpa tanda-tanda yang terlihat.
Analisis kemantapan lereng (slope stability) diperlukan sebagai pendekatan untuk memecahkan masalah kemungkinan longsor yang akan terjadi pada suatu lereng. Lereng pada daerah penambangan dapat mengalami kelongsoran apabila tingkat kestabilan suatu lereng dengan kemantapan lerengnya terjadi perubahan gaya yang bekerja pada lereng tersebut. Perubahan gaya gesekan dalam ini akan menahan gesekan dengan adanya perlawanan beban yang diberikan dikemiringan alami dan terjadi gaya gesekan atau sudut geser dalam dan kohesi serta gaya luar atau aktivitas penambangan.
Kemantapan lereng tergantung pada gaya penggerak (driving force) yaitu gaya yang menyebabkan kelongsoran yang dipengaruhi berat satuan tanah dan gaya penahan (resisting force) yaitu gaya penahan yang melawan kelongsoran yang ada pada bidang gelincir tersebut serta tergantung pada besar atau kecilnya sudut bidang gelincir atau sudut lereng.
Menurut Hoek (1981) kemantapan lereng biasanya dinyatakan dalam bentuk faktor keamanan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
Fk = Gaya penahan / Gaya penggerak
Dimana:
Fk > 1 berarti lereng aman
Fk = 1 berarti lereng dalam keadaan seimbang
Fk < 1 berarti lereng dianggap tidak stabil
Dalam kerja praktek ini sebuah kestabilan lereng akan keamanan lerengnya dengan memperhatikan identifikasi masalah yang akan terjadi dengan gaya tauld yang berkerja antara Gaya penahan dan Gaya dorong dilihat dari keamanan lereng yang akan longsor dengan tingkat kestabilang lereng yang tidak sabil akan teridntifikasi gaya kriterianya yang memperlihatkan tingkat keseriusan dalam memperhatiakn kestabilan lereng dari perkiraan keruntuhan. Kemantapan lereng tergantung pada Gaya penggerak dan penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya-gaya yang mengakibatkan lereng longsor. Sedangkan Gaya penahan adalah gaya-gaya yang mempertahankan kemantapan lereng tersebut. Jika gaya penahannya lebih kecil dari gaya penggerak, maka lereng tersebut dalam keadaan tidak stabil.
3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi 1)Kemantapan Lereng
Kemantapan lereng selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : geometri lereng, struktur geologi, kondisi air tanah, sifat fisik dan mekanik batuan serta gaya-gaya yang bekerja pada lereng.
2) Geometri Lereng
Parameter yang diperhatikan adalah tinggi jenjang, lebar jenjang, sudut jenjang tunggal, dan sudut lereng keseluruhan. Lereng yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kondisi yang tidak mantap dan cenderung lebih mudah longsor, demikian juga untuk sudut lereng yang mempunyai kemiringan yang besar akan menjadikan lereng kurang mantap.
3) Struktur Batuan
Struktur batuan yang sangat mempengaruhi kemantapan lereng adalah bidang-bidang sesar, perlapisan dan rekahan. Struktur batuan tersebut merupakan bidang-bidang lemah dan sekaligus sebagai tempat merembesnya air, sehingga batuan lebih mudah longsor.
4) Sifat Fisik dan Mekanik Batuan
Sifat fisik batuan yang mempengaruhi kemantapan lereng adalah : bobot isi (density), porositas dan kandungan air. Kuat tekan, kuat tarik, kuat geser, kohesi, dan sudut geser dalam merupakan sifat mekanik batuan yang juga mempengaruhi kemantapan lereng.
1. Bobot Isi
Bobot isi batuan akan mempengaruhi besarnya beban pada permukaan bidang longsor. Sehingga semakin besar bobot isi batuan, maka gaya penggerak yang menyebabkan lereng longsor akan semakin besar. Dengan demikian, kemantapan lereng tersebut semakin berkurang
2. Porositas
Batuan yang mempunyai porositas besar akan banyak menyerap air. Dengan demikian bobot isinya menjadi lebih besar, sehingga akan memperkecil kemantapan lereng.
3. Kandungan air
Semakin besar kandungan air dalam batuan, maka tertekan air pori menjadi besar juga. Dengan demikian kuat geser batuannya akan menjadi semakin kecil, sehingga kemantapannya pun berkurang.
4. Kuat Tekan, Kuat Tarik, dan Kuat Geser
Kekuatan batuan biasanya dinyatakan dengan kuat tekan (confined & unfined compressive strength), kuat tarik (tensile strength) dan kuat geser (shear strength). Batuan yang mempunyai kekuatan besar, akan lebih mantap.
5. Kohesi dan Sudut Geser Dalam
Semakin besar kohesi dan sudut geser dalam, maka kekuatan geser batuan akan semakin besar juga. Dengan demikian akan lebih mantap.
6. Pengaruh Gaya
Biasanya gaya-gaya dari luar yang mempengaruhi kemantapan lereng antara lain : getaran alat-alat berat yang bekerja pada atau sekitar lereng, peledakan, gempa bumi, serta gaya rembesan, dll. Semua gaya- gaya tersebut akan memperbesar tegangan geser sehingga dapat mengakibatkan kelongsoran pada lereng.
Gaya-gaya yang bekerja pada lereng secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu gaya-gaya yang cenderung untuk menyebabkan material pada lereng untuk bergerak ke bawah dan gaya-gaya yang menahan material pada lereng sehingga tidak terjadi pergerakan atau longsoran.
Berdasarkan hal tersebut, Terzaghi (1950) membagi penyebab-penyebab terjadinya longsoran menjadi dua kelompok yaitu:
1 Penyebab-penyebab eksternal yang menyebabkan naiknya gaya geser yang bekerja sepanjang bidang runtuh, antara lain yaitu:
- Perubahan geometri lereng
- Penggalian pada kaki lereng
- Pembebanan pada puncak atau permukaan lereng bagian atas.
- Gaya vibrasi yang ditimbulkan oleh gempa bumi atau ledakan.
- Penurunan muka air tanah secara mendadak
- Perubahan Kelakuan air
2. Penyebab-penyebab internal yang menyebabkan turunnya kekuatan geser material, antara lain yaitu:
- Pelapukan
- Keruntuhan progressive
- Hilangnya sementasi material
- Berubahnya struktur material.
Akan tetapi menurut Varnes (1978) terdapat sejumlah penyebab internal maupun eksternal yang dapat menyebabkan naiknya gaya geser sepanjang bidang runtuh maupun menyebabkan turunnya kekuatan geser material, bahkan kedua hal tersebut juga dapat dipengaruhi secara serentak.
Terdapatnya sejumlah tipe longsoran menunjukkan beragamnya kondisi yang dapat menyebabkan lereng menjadi tidak stabil dan proses-proses yang memicu terjadinya longsoran, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu kondisi material (tanah/batuan), proses geomorphologi, perubahan sifat fisik dari lingkungan dan proses yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Berikut ini adalah daftar singkat dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya longsor.
Pembagian ketiga tahapan kondisi kestabilan tersebut sangat berguna dalam mempelajari penyebab-penyebab ketidakstabilan lereng dan membaginya menjadi dua berdasarkan fungsinya yaitu:
Faktor-faktor penyebab pendahuluan yaitu faktor-faktor yang dapat menyebabkan lereng menjadi rentan terhadap longsoran sehingga merubah kondisi kestabilan lereng dari sangat aman menjadi cukup aman.
Faktor-faktor pemicu longsoran yaitu faktor-faktor yang memicu sehingga terjadi pergerakan pada lereng atau lereng mengalami longsoran. Faktor pemicu akan menurunkan kondisi kestabilan lereng dari cukup aman menjadi tidak stabil.
3.5 Pencegahan Terjadinya Gerakan Massa Tanah :
1. Mengubah Geometri Kelerengan
Perubahan geometri lereng ini pada prisnsipnya bertujuan untuk mengurangi gaya pendorong dari masa tanah atau gaya-gaya yang menggerakan yang menyebabkan gerakan lereng. Perbaikan dengan perubahan geometri lereng ini meliputi pelandaian kemiringan lereng dan pembuatan trap-trap/bangku/teras (benching) dengan perhitungan yang tepat.
2. Mengendalikan Aliran Air Permukaan
Air merupakan salah satu faktor penyumbang ketidakmantapan lereng, karena akn meninggikan tekanan air pori. Pengendalian air ini dapat dilakukan dengan cara sistem pengaturan drainase lereng baik dengan drainase permukaan maupun bawah permukaan (Hardiyatmo. C. H., 2006). Pemilihan metode ini cocok digunakan dalam upaya pencegahan tetapi jika pada sebelumnya telah terjadi gerakantanah maka diperlukan beberapa metode penanggulangan sebagai pendukung.
3. Penanaman Pohon Dilajur Rawan Longsor
Tumbuhan dapat digunakan untuk mengontrol erosi pada tanah yang tidak stabil. Metode penanaman ini bertujuan untuk melindungi lereng, karena akar-akar pohon akan menyerap air dan mencegah air berinfiltrasi ke dalam zona tanah tidak stabil. Akar-akaran dalam kelompoknya membentuk rakit yang menahan partikel tanah tetap di tempatnya. Dalam kondisi demikian umunua akar-akar tumbuhan menambah kuat geser tanah (Hardiyatmo. C. H., 2006).
4. Sementasi
Menurut Dwiyanto (2005), grouting merupakan metode untuk memperkuat tanah/batuan atau memperkecil permeabilitas tanah/batuan dengan cara menyuntikkan pasta semen atau bahan kimia ke dalam lapisan tanah/batuan.
Grouting merupakan suatu proses pemasukan suatu cairan dengan tekanan kedalam rongga atau pori rekahan dan kekar pada batuan yang dalam waktu tertentu cairan tersebut akan menjadi padat dan keras secara fisika maupun kimiawi, dengan tujuan untuk menurunkan permeabilitas, meningkatkan kuat geser, mengurangi kompresibilitas, mengurangi potensi erosi internal terutama pada pondasi alluvial.
5. Betonisasi
Cara ampuh tapi membutuhkan biaya yang relatif mahal dari Grouting yaitu dengan cara pembetonan namun cara ini hanya bersifat sementara karena hanya menguatkan komposisi tanah luarnya saja sedangkan dalamnya sama saja jadi bersifat sementara saja.
3.6 Data-Data Untuk Analisis Kestabilan Lereng
Secara umum data yang diperlukan untuk analisis kestabilan lereng yaitu:
- Topografi
- Geologi
- Sifat geoteknik matril
- Kondisi air tanah
- Pembebanan pada lereng
- Geometri lereng
1.) Topografi
Supaya penyelidikan lapangan dapat dilakukan dengan baik harus terdapat peta yang cukup akurat yang menunjukkan letak dari lubang-lubang bor untuk penyelidikan, daerah pemetaan struktur geologi serta lokasi dari penampang melintang yang dianalisis.
2.) Geologi
Beberapa kondisi geologi yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng, yaitu: tipe mineral pembentuk material lereng, bidang-bidang diskontinuitas dan perlapisan,tingkat intensitas pelapukan, kedalaman pelapukan, sejarah dari keruntuhan sebelumnya dan keadaan tegangan di tempat. Tipe longsoran yang mungkin terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi dari bidang- bidang tak menerus pada daerah yang distudi/diselidiki. Berikut ini adalah sketsa dari beberapa bentuk tipe longsoran dan kondisi bidang-bidang tak menerus yang mempengaruhinya.
Selama proses pekerjaan penggalian lereng kondisi geologi harus terus dikaji dan desain lereng dapat dimodifikasi ulang apabila ternyata kondisi geologi yang aktual berbeda dengan yang diasumsikan. Pada umumnya data geologi yang tersedia biasanya sangat terbatas sehingga dapat menghasilkan beragam interpretasi. Oleh sebab itu kondisi geologi harus selalu diamati selama pekerjaan berlangsung serta mempertimbangkan kemungkinan adanya perubahan rancangan lereng apabila kondisi aktual di lapangan berbeda dengan kondisi geologi yang diasumsikan.
3.) Sifat material
Sifat material yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng yaitu parameter kekuatan geser dan berat satuan material. Parameter kekuatan geser merupakan sifat material terpenting karena faktor keamanan dinyatakan dalam bentuk perbandingan kekuatan geser yang tersedia dan kekuatan geser yang diperlukan, sehingga penentuan parameter kekuatan geser harus seakurat mungkin. Parameter kekuatan geser terdiri dari komponen yaitu kohesi dan sudut geser dalam. Untuk analisis lereng yang telah mengalami longsoran harus diperhatikan tentang kekuatan geser sisa.
Berdasarkan kondisi pengujian di laboratorium atau pengujian di lapangan terdapat dua tipe kekuatan geser material yaitu: kekuatan geser takterdrainase dan kekuatan geser terdrainase. Kekuatan geser takterdrainase digunakan apabila analisis kestabilan lereng dilakukan dengan pendekatan tegangan total, sedangkan kekuatan geser terdrainase digunakan apabila analisis kestabilan lereng dilakukan dengan pendekatan tegangan efektif.
4.) Air tanah
Kondisi air tanah merupakan salah satu parameter terpenting dalam analisis kestabilan lereng, karena seringkali terjadi longsoran yang diakibatkan oleh kenaikan tegangan air pori yang berlebih. Tekanan air pori tidak diperlukan apabila dilakukan analisis kestabilan dengan tegangan total. Gaya hidrostatik dengan metode hidrodinamik pada permukaan lereng yang diakibatkan oleh air yang menggenangi permukaan lereng juga harus dimasukkan dalam perhitungan kestabilan lereng, karena gaya ini mempunyai efek perkuatan pada lereng.
Secara teoritis kondisi air tanah dapat diketahui dengan mengukur besarnya aliran air tanah (debit). Kondisi air tanah berhubungan dengan pori tanah dan tekanan air yang bekerja di pori-pori tanah. Secara umum kondisi air tanah yang dijumpai pada bawah permukaan tanah dapat berup basah, Jenuh, dan mengalir.
Pada umumnya keberadaan air akan mengurangi kondisi kestabilan lereng yang antara lain karena menurunkan kekuatan geser material sebagai akibat naiknya tekanan air pori, bertambahnya berat satuan material.
5.) Pembebanan pada lereng
Data lain yang diperlukan dalam analisis kestabilan lereng yaitu gaya-gaya luar yang bekerja pada permukaan lereng, seperti beban dinamik dari lalu-lintas, beban statik dari bangunan atau timbunan di atas lereng, peledakan. Gaya-gaya luar ini harus dimasukkan dalam perhitungan karena dapat mempunyai efek mengurangi kondisi kestabilan lereng.
6.) Geometri Lereng
Data geometri lereng yang diperlukan yaitu data mengenai sudut kemiringan dan tinggi lereng. Geometri lereng alami dapat ditentukan dengan membuat penampang vertikal berdasarkan peta topografi. Sedangkan untuk lereng buatan, geometri lereng ditentukan dari desain lereng yang akan dibuat.
3.7 Berbagai Cara Analisis Kestabilan Lereng
Dalam menentukan kestabilan atau kemantapan lereng dikenal dengan istilah faktor keamanan (safety faktor) yang merupakan perbandingan antara gaya-gaya yang menahan gerakan terhadap gaya-gaya yang menggerakan tanah/lereng tersebut dianggap stabil,bila dirumuskan sebagai berikut:
Faktor Keamanan = gaya penahan / gaya dorong
(Sumber: Laporan Tugas Stabilitas Lereng)
Gambar 3.2 Faktor Keamanan
(Sumber: Soil Strength and Slope Stability)
Gambar 3.3 Gaya Silica Metode Fellenius
Keterangan :
FK = Faktor Keamanan
ι = Panjang segmen bidang gelincir (ft)
c = Kohesi (lb/ft2)
φ = Sudut Geser Dalam (Derajat)
W = Bobot massa diatas segmen (lb/ft), (kip/ft)
U = Tekanan Pori (lb/ft2)
α = Sudut yang dibentuk oleh bidang gelincir dengan bidang
horisontal (Derajat)
s = Gaya Pengerak (lb/ft), (kip/ft)
τ = Gaya Penahan / Tahanan Geser sepanjang ι (lb/ft), (kip/ft)
αw = Sudut Mukah air tanah
β = Sudut kemiringan Lereng
Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan visual, cara komputasi dan cara grafik (Pangular, 1985) sebagai berikut :
a. Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan lereng stabil maupun tidak stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng.
b. Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus (Fellenius, Bishop, Janbu, Sama, Bishop modified dan lain-lain). Cara Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng dan dianalisis kekuatannya Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi : (a) tak terdrainase, (b) efektif untuk beberapa kasus pembebanan, (c) meningkat sejalan pening- katan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau dengan kedalaman, (d) ber- kurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu) atau ter- bentuknya tekanan pori yang berlebih atau terjadi peningkatan air tanah. Dalam menghitung besar faktor keamanan lereng dalam analisis lereng tanah melalui metoda sayatan, hanya longsoran yang mempunyai bidang gelincir saya yang dapat dihitung.
c. Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor, Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini dilakukan untuk material homogen dengan struktur sederhana. Material yang heterogen (terdiri atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus (cara komputasi). Stereonet, misalnya diagram jaring Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat menjelaskan arah longsoran atau runtuhan batuan dengan cara mengukur strike/dip kekar-kekar (joints) dan strike/dip lapisan batuan.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan studi-studi yang menyeluruh tentang keruntuhan lereng, maka dibagi 3 kelompok rentang Faktor Keamanan (FK) ditinjau dari intensitas kelongsorannya (Bowles, 1989), sperti yang diperlihatkan pada Tabel berikut:
Tabel 3.2 Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor
(Sumber: Laporan Tugas Stabilitas Lereng (Kornelis eko patty))
3.8 Perhitungan Faktor Keamanan Lereng
Faktor Keamanan (FK) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai metode. Longsoran dengan bidang gelincir (slip surface), FK dapat dihitung dengan metoda sayatan (slice method) menurut Fellenius atau Bishop. Untuk suatu lereng dengan penampang yang sama, cara Fellenius dapat dibandingkan nilai faktor keamanannya dengan cara Bishop. Dalam mengantisipasi lereng longsor, sebaiknya nilai FK yang diambil adalah nilai FK yang terkecil, dengan demikian antisipasi akan diupayakan maksimal. Data yang diperlukan dalam suatu perhitungan sederhana untuk mencari nilai FK (faktor keamanan lereng) adalah sebagai berikut :
a. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang lereng) meliputi: sudut lereng, tinggi lereng, atau panjang lereng dari kaki lereng ke puncak lereng.
b. Data mekanika tanah
- Sudut geser dalam (φ; derajat)
Sudut geser dalam adalah pengukuran kemampuan material (dapat berupa tanah atau batuan) untuk menahan shear stress berupa sudut maksimum yang dibentuk dari gesekan statis antara butiran atau partikel material.
- Bobot satuan isi tanah basah (γwet; lbs/ft3)
Bobot isi tanah basah adalah perbandingan Antara berat butiran tananh termasuk air dan udara (W) dengan volume total tanah (V).
- Kadar air tanah (ω)
Kadar air tanah adalah perbandingan Antara berat air (Ww) dengan berat butiran padat (Ws), dinyatakna dalam persen.
- Kohesi (c; lbs/ft2)
Kohesi adalah gaya Tarik menarik Antara partikel – partikel yang sejenis. Kohesi dipengaruhi oleh kerapatan dan jarak Antara partikel dalam zat. Satuan kohesi lb/ft2.
- Tekanan air pori
Tekanan air pori adalah tekanan yang berada pada fluida di dalam ruang – ruang pori yang berada pada formasi (dalam hal ini batuan dan tanah). Satuan tekanan air pori adalah lb/ft2.
Data mekanika tanah yang diambil sebaiknya dari sampel tanah tak terganggu. Kadar air tanah ( ω ) diperlukan terutama dalam perhitungan yang menggunakan komputer (terutama bila memerlukan data γdry atau bobot satuan isi tanah kering, γdry = γwet / ( 1 + ω )).
3.8.1 Metode irisan
Metode irisan merupakan metode yang sangat populer dalam analisa kestabilan lereng. Metode ini telah terbukti sangat berguna dan dapat diandalkan dalam praktek rekayasa serta membutuhkan data yang relatif sedikit dibandingkan dengan metode lainnya, seperti metode elemen hingga (finite element ), metode beda hingga (finite difference) atau metode elemen diskrit (discreteelement ). Ide untuk membagi massa di atas bidang runtuh ke dalam sejumlah irisan telah digunakan sejak awal abad 20. Pada tahun 1916, Peterson melakukan analisis kestabilan lereng pada beberapa dinding dermaga di Gothenberg, Swedia, dimana bidang runtuh dianggap berbentuk sebuah busur lingkaran dan kemudian massa di atas bidang runtuh dibagi ke dalam sejumlah irisan vertikal. Dua puluh tahun kemudian, Fellenius (1936) memperkenalkan metode irisan biasa. Setelah itu muncul beberapa metode irisan lainnya, antara lain yang dikembangkan oleh: Janbu (1954, 1957); Bishop (1955); Morgenstern dan Price (1965); Spencer (1967); Sarma (1973, 1979); Fredlund dan Krahn (1977), Fredlund, dkk (1981); Chen dan Morgenstern (1983); Zhu, Lee dan Jiang (2003).
karakteristik lainnya yaitu geometri dari bidang gelinciran harus ditentukan atau diasumsikan terlebih dahulu. Untuk menyederhanakan perhitungan, bidang runtuh biasanya dianggap berbentuk sebuah busur lingkaran dengan radius terhadap horisontal ai = r sin αi, gabungan busur lingkaran dengan garis lurus, atau gabungan dari beberapa segmen garis lurus. Ilustrasi beberapa bentuk bidang runtuh tersebut dan gaya-gaya yang bekerja pada setiap irisan.
(Sumber: Soil Strength and Slope Stability)
Gambar.3.4 Metode irisan
3.8.2. Metode irisan biasa (fellenius)
Metode irisan biasa (Fellenius, 1936) merupakan metode yang paling sederhana diantara beberapa metode irisan. Metode ini juga dinamakan sebagai metode lingkaran Swedia. Asumsi yang digunakan dalam metode ini adalah resultan gaya antar irisan sama dengan nol dan bekerja sejajar dengan permukaan bidang runtuh b = ∆ι cos α, serta bidang runtuh berupa sebuah busur lingkaran. Kondisi kesetimbangan yang dapat dipenuhi oleh metode ini hanya kesetimbangan momen untuk semua irisan pada pusat lingkaran runtuh.
(Sumber: Soil Mechanics and Fundations)
Gambar.3.5 Metode Fellenius
(Sumber: Soil Mechanics and Fundations)
Gambar.3.6 Dimensi Silica
(Sumber: Aplikasi AutoCAD)
Gambar 3.7 Penampang Lereng
BAB IV
METODOLOGI DAN HASIL
KERJA PRAKTEK
4.1 Metode Kerja Praktek
Kegitan praktek ini dapat dilakukan melalui pengamatan secara langsung dilapangan dan pengumpulan informasi dari para ahli/praktisi pertambangan yang bekerja pada lokasi penelitian. Selain itu penelitian ini juga menggunakan beberapa literatur, baik berupa buku maupun jurnal penelitian terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian.
Tahapan pekerjaan dalam kegiatan Kerja Praktik ini meliputi beberapa tahapan pelaksanaan, yaitu :
1. Orientasi / Pengenalan Lingkungan Kerja
Orientasi lingkungan kerja dilakukan dengan mengenal profil perusahaan, struktur organisasi kerja perusahaan dan job description.
2. Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan dilakukan dengan survey ke lapangan untuk menentukan lokasi dan rencana kerja.
3. Studi Literatur
Pelaksanaan studi literatur dengan mempelajari materi-materi tentang judul kerja praktek ini yang akan diambil dalam kegiatan Kerja Praktik. Studi literatur berguna untuk mengetahui langkah kerja saat pengambilan data dan cara mengolah data tersebut.
4. Studi Lapangan / Pengumpulan Data
Pelaksanaan kegiatan lapangan dan pengambilan data yang berkaitan dengan tema Kerja Praktik yang diambil. Tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam kerja praktik. Adapun data tersebut adalah:
A. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari hasil pengamatan di lapangan. Data primer yang didapatkan pada saat penelitian adalah :
• Properties dari tanah (susunan material lereng)
• Geometri, arah dan kemiringan lereng.
• Orientasi bidang diskontinu.
• Kondisi bidang diskontinu.
• Titik lokasi daerah penelitian.
• Data-data yang berkaitan dengan kondisi dari daerah penelitian yaitu gambar atau foto.
B. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung, yaitu bisa menyalin atau mengutip dari data yang sudah ada. Data sekunder yang didapatkan pada saat penelitian adalah :
a. Data geologi yaitu berupa peta topografi, geologi regional, geologi lokal, litologi dan stratigrafi.
b. Data sifat fisik dan mekanik batuan berdasarkan hasil log bor Geoteknik
5. Pengolahan Data
a. Analisis Data
Meliputi pengolahan data dan analisa dari data-data yang sudah didapat di lapangan. Dan evaluasi dari keseluruhan kegiatan Kerja Praktek yang kemudian dituangkan dalam penyusunan laporan Kerja Praktek.
b. Kesimpulan
Kesimpulan dari pengolahan data hanya terletak pada kedalaman lereng
4.2 Tahap- tahap analisi kestabilan lereng dengan metode Fellenius
1. Mengumpulkan data geometrik dengan meter serta sifat fisik dan mekanik dari leb. yang akan diperlukan sebagai data penting dalam kestabilan lereng.
2. Mebuat penampang geometric lereng dan failure dengan mengunakan aplikasi AutoCad yang diperlukan sebagai alat ukur dimensi tiap irisan pada susunan lereng yang akan memperoleh bobot.
3. Melakukan hitungan Faktor keamanan dengan mengunakan aplikasi Excel yang akan mempermudah hitungan dalam memperoleh tingkat keamanan lereng.
4.2 Hasil data kerja praktek
Hasil data kerja praktek pada PT. ANTAM Tbk. UBPN Sulawesi Tenggara berlokasi di Kecamatan Tapunopakah, Kabupaten Konawe Utara dengan bukit Tapuemea, data yang diperoleh Dimensi Geometrik lereng, Sampel lereng dan Data Lab. Sifat fisik dan mekanik (sumber data Vikram. UHO) serta hasil data hitungan Faktor keamanan.
Gambar. 4.1 Lereng bench bukit tapuemea
4.2.1 Data dimensi geometrik
Pengumpulan data lapangan di Tapunopakah bukit Tapuemea selama 2 hari tanggal 8- 9 September 2019,
Gambar 4.2 Lokasi Kecamatan Tapunopaka Sulawesi Tenggara
Gambar. 4.3 Penampang lereng
4.2.2 Data Sifat fisik dan mekanik
Interpertasi data lapangan bukit Tapuemea selama 1 hari tanggal 16 September 2019,
4.3 Data hitungan Fellenius
Bukit Tapuemea dengan keamanan lereng akan kemantapan suatu lereng dengan cara perhitungan metode Fellinius, Berikut data faktor keamanan lereng Bukit Tapuemea
Share This :
0 komentar